Belum selesai dengan masalah tawuran antarkampung dan antarsekolah, Jakarta dihebohkan kasus pemerkosaan di angkutan kota. Belum lagi hal itu pupus dari ingatan, berbagai kasus pembunuhan pun terjadi di Jakarta.
Sementara itu, kejahatan kekerasan dalam bentuk yang lebih kurang ekstrem, mulai dari sekadar perkelahian hingga penganiayaan, terus saja terjadi.
Tulisan ini secara ringkas memperlihatkan 10 cara memahami dan menganalisis meningkatnya kejahatan kekerasan, khususnya yang terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta.
Pertama, berbeda dengan kecenderungan media massa, kita perlu mempergunakan satuan waktu yang lebih luas dari sekadar situasi satu-dua hari saja. Satuan waktu itu, misalnya, setahun atau sebulan. Maka akan terlihat profil yang lebih utuh. Kemungkinan ini akan membenarkan teori bahwa kejahatan kekerasan di mana- mana sebenarnya memiliki sifat ajek (tak gampang cepat naik atau cepat turun).
Cara kedua dengan menyimak statistik kejahatan atau statistik kriminal. Memang, statistik kriminal di Indonesia, yang dikeluarkan kepolisian, umumnya memuat data bervaliditas rendah. Deviasinya besar. Maklum, penyusunannya hingga menghasilkan berbagai profil kejahatan dilakukan secara tidak serius. Namun, melalui statistik itu minimal bisa dilihat wajah kejahatan kekerasan di suatu wilayah. Bisa dijamin, sekali lagi, angka-angka yang memperlihatkan lonjakan (baik naik ataupun turun) tidak akan ditemui.
Ketiga, memasukkan unsur ekologi. Dalam kriminologi, unsur ekologi secara mudah dimengerti sebagai pengaruh eksternal, misalnya tinggi-rendah pengangguran, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi atau kepadatan penduduk (densitas) di suatu wilayah kota. Terkait itu, bisa diduga, beberapa saat sesudah musim libur Lebaran ada kondisi tak normal. Misalnya, urbanisasi terkait pendatang baru. Penduduk yang sudah padat makin padat. Orang umumnya juga sudah kehabisan uang pasca-Lebaran. Singkatnya, kemungkinan hal-hal ekologis itu merupakan faktor anteseden atau yang mengawali bagi munculnya situasi kondusif bagi orang per orang untuk semakin mudah marah, mudah tersinggung dan sebagainya.
Cara keempat, jangan lupa peran pengendali kejahatan, yakni kepolisian. Dalam konteks kejahatan kekerasan, prevalensi dan insidensinya banyak bergantung pada aktivitas si pengendali ini. Jika pengendali memiliki fokus lain, misalnya dalam rangka mengamankan demonstrasi yang cenderung terjadi merata setiap hari di Jakarta, maka penjagaan ruang-ruang publik yang mestinya berlangsung kontinu bisa terabaikan.
Cara kelima dengan melihat profil demografi pelaku-pelaku kejahatan kekerasan yang terjadi baru-baru ini. Jika pelaku pria muda, berpendidikan rendah, menganggur atau setengah menganggur dan dari kalangan masyarakat berkemampuan sosial-ekonomi rendah, tidak ada yang baru bukan? Demikian pula jika korban adalah anak-anak atau wanita yang tidak berpendidikan memadai, juga tidak bekerja. Jika profil pelaku dan korban masih tipikal, maka dapat dibayangkan, narasi modus kejahatannya masih itu-itu juga. Misalnya, pelaku marah lalu menghantam korban yang tak berdaya.
Keenam, masih terkait dengan pelaku, perhatikan ada-tidaknya bekas narapidana, khususnya yang residivis, yang baru keluar dari lembaga pemasyarakatan. Dari pengalaman selama ini, ada kemungkinan mereka yang baru keluar sel itu lalu kembali ke kelompok kejahatannya dan aktif lagi. Namun, amatan ini perlu dilakukan dengan bijaksana.
Cara ketujuh, masih terkait dengan pelaku dan korban, tetapi kali ini dikaitkan dengan apakah berasal dari kelompok masyarakat yang dikenal sebagai memiliki subkultur kejahatan atau tidak. Juga, apakah berasal atau tinggal di wilayah yang rawan kejahatan atau tidak. Jika keduanya berasal dari kelompok subkultur kejahatan (artinya yang mendukung satu atau lebih nilai dan bentuk kejahatan tertentu) serta tinggal di wilayah yang memang rawan kejahatan, itu berarti faktanya lebih dapat diterima ketimbang sebaliknya. Akan jauh lebih membingungkan apabila pelaku atau korban adalah orang yang memiliki latar belakang yang baru sama sekali terkait kejahatan, misalnya karena pelakunya adalah orang terhormat, terdidik dan berstatus sementara profil korbannya juga kurang lebih sama.
Masih terkait dengan pelaku, maka melalui amatan yang lebih dalam dan panjang, kita bisa sampai pada pemahaman bahwa banyak pelaku sebenarnya bukan pelaku kejahatan pertama kali, yang melakukan secara spontan dan tak terencana. Ini cara kedelapan. Dengan dukungan data dasar kependudukan serta data dasar kejahatan yang baik, yang sayangnya tak kita miliki, rekam jejak seseorang dapat dicatat dan, setiap kali terjadi kejahatan, yang bersangkutan dapat menjadi seorang yang terduga sebagai pelakunya.
Cara kesembilan, terkait dengan situasi media itu sendiri. Tatkala media sedang ”mati angin” alias krisis berita, potensi berita kriminalitas menempati porsi berita utama juga makin besar. Bahkan pada media yang memiliki rubrik atau acara khusus terkait kriminalitas sekalipun, kasus-kasus kejahatan kekerasan yang ekstrem tetap dinanti ketimbang mengisinya dengan kasus kejahatan sepele, yang justru jumlahnya jauh lebih banyak. Inilah yang disebut kecenderungan over-amplification (pembesaran suatu peristiwa) oleh media yang lalu gampang menimbulkan rasa takut di masyarakat.
Terakhir, kesepuluh, adalah kesiapan masyarakat menghadapi kejahatan kekerasan itu sendiri. Hal ini dapat diukur. Masyarakat yang sudah terlanda rasa takut akibat kejahatan akan semakin mudah pula menjadi masyarakat yang tak berdaya dan, ujung-ujungnya, menjadi patologis atau berperilaku anomik. Kejahatan kekerasan secara teoretis amat berpotensi melahirkan rasa takut itu mengingat nuansa kengerian yang diciptakannya dan kemudian dipersepsi oleh para pembaca, pendengar, dan pemirsa sebagai sesuatu yang juga dapat terjadi pada dirinya.
Posting Komentar