Darmanto Jatman telah berpulang tiga tahun lalu. Namun, gagasan keilmuan dan gerakan kebudayaannya serasa masih di sekitar kita. Ia sosok flamboyan di tengah hiruk-pikuk menggeliatnya Ilmu sosial dan kebudayaan. Darmanto seakan menjadi bintang ketika psikologi berkibar di kampus pada era 1980-an.
Tahun 1984 adalah saat ia bergaul akrab dengan tokoh sekelas Umar Kayam (UGM), YB Manguwijaya, Arief Budiman (Universitas Satya Wacana), Satjipto Rahardjo (Undip), Abdurrahman Wahid, hingga Romo Franz Magnis-Suseno (STF Driyarkara).
Tahun-tahun berikut, bersama para sahabatnya, seperti Djamaludin Ancok (UGM), Friedha NRH (Undip), dan ML Oetomo (pensiunan RSJ Magelang), ia membidani fakultas psikologi di Unika Soegijapranata, Semarang.
Unika adalah perguruan tinggi swasta pertama di Jawa Tengah sebelum fakultas psikologi di Universitas Muhammadiyah Surakarta, menyusul kemudian Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.
Dirinyalah orang pertama yang berteriak lantang bahwa psikologi Barat tidak selalu pas diterapkan di Indonesia. Ia menggerakkan etnopsikologi Jawa yang diklaim sebagai bagian dari psikologi Indonesia. Keasyikan mengimpor psikologi modern membuat wacana pembumian pikologi tidak berkembang.
”Itu terjadi sampai dua dekade lewat. Penyebabnya karena kita tidak yakin akan posisi kultural psikologi. Baik aksiologi maupun epistemologisnya. Psikologi Barat hanya mengukur keperilakuan (behavior) yang bermuara pada eksperimen dan statistik. Sedangkan sumbangan intuisi dan analisa kualitatif tersisih.” (Pidato Darmanto Jatman pada Pengukuhan Guru Besar Fakultas Psikologi Undip 2008 berjudul ”Ilmu Jiwa Kaum Pribumi”)
Kawruh jiwa Jawa
Senyampang dengan itu, Darmanto mengetengahkan perlunya mengangkat peran Ki Ageng Suryomentaram, Raden Mas Panji Sosrokartono, dan Prof Dr Soemantri Hardjoprakoso. Ketiga tokoh local genius itu disebutnya sebagai pengungkit lahirnya psikologi Jawa. ”Psikologi Jawa sebenarnya klaim kita terhadap Indonesia yang memiliki begitu banyak ilmu psikologi,” katanya.
Dalam pemahaman yang lebih spesifik, ia mengetengahkan istilah ”kawruh jiwa Jawa”-nya Ki Ageng Suryomentaram dan berbagai sesanti Sosrokartono. Darmanto mengeksplorasi pembanding psikologi Barat itu dengan kembali ke akar.
Bahkan, pada 1984-1986, ia mengajak para mahasiswanya di Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata melakukan penelitian kualitatif mengenai apa dan siapa Ki Ageng Suryomentaram dan Mandhor Klungsu (nama samaran RMP Sosrokartono yang tidak lain adalah kakak RA Kartini).
Dalam berbagai seminar, guru besar pertama Fakultas Psikologi Undip itu menyejajarkan ajaran Ki Ageng Suryomentaram, Soemantri Hardjoprakoso, dan Sosrokartono tidak kalah dari keilmiahan mazhab ilmu Sigmund Freud dan Carl Gustaf Jung yang keduanya mengusung aliran psikoanalisis.
Menteri Kebudayaan dan Pariwista Jero Wacik menyerahkan penghargaan Satyalancana Kebudayaan kepada sejumlah seniman dan budayawan di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (23/3/2011). Penerima penghargaan yang hadir, antara lain, Darmanto Jatman (kiri), pelestari sastra Bima Siti Maryam R Salahuddin (duduk depan), Jakob Sumardjo (keempat dari kanan), dan Abdul Hadi WM (kedua dari kanan). Sementara penerima Satyalancana yang lain, musisi (almarhum) Tonny Koeswoyo, penari topeng (almarhumah) Dewi, musisi Iwan Fals, dan budayawan Emha Ainun Najib, diwakili keluarga mereka.
Sosok Darmanto menjadi sangat dikenal di kalangan akademisi sebagai penggerak tampilnya etnopsikologi Indonesia, dalam hal ini psikologi Jawa.
Namun, perjuangan bukan tanpa rintangan. Ketika ia memperjuangkan psikologi Jawa menjadi mata kuliah khusus di fakultas psikologi beberapa universitas, seperti Unika Soegijapranata, Universitas Diponegoro, dan Universitas Semarang, keinginan itu hanya dikenang sebagai wacana keilmiahan.
Menurut Darmanto, sesanti yang dilahirkan para tokoh jenius Jawa terhitung sakti. The Undischovered Self yang ditulis Jung menjelang akhir hayatnya setara dengan sesanti karya Sosrokartono mengenai ”Trimah mawi pasrah/soewoengan pamrih tebih ajrih/langgeng tan ana seneng/anteng mantheng, soegeng jeneng (Menerima dengan pasrah/sepi pamrih jauh dari rasa takut/kegembiraan tidak abadi/dengan berdiam nama akan terjaga)”. Ungkapan itu dapat diterjemahkan sebagai jati diri (egoless ego) atau ”manusia tanpa ciri”.
Pemahaman Kramadhangsa-nya Ki Ageng Suryomentaram yang sangat terkenal itu dianalogikan Darmanto sebagai kawruh mekanisme pertahanan diri, yang dalam psikoanalisisnya Freud diistilahkan sebagai self defense mechanism. Kramadhangsa ajaran Ki Ageng bagi orang Jawa (klaim untuk pengertian Indonesia), serupa motivator yang lumer terhadap kondisi dan situasi. Di dalamnya terdapat id (hasrat tak terjaga), ego (bagian terorganisasi antara id dan supereo), dan superego (mengontrol berdasarkan moral dan intuisi nurani).
Dalam pemikiran Darmanto, masih banyak nilai ilmu jiwa yang berpotensi digali. Karena kultur lokal akan memberi kekuatan dalam pengembangan kejiwaan manusia, dan itulah yang disebutnya sebagai etnopsikologi.
Indonesia tanpa pagar
Ia sangat humanis. Segala ilmu fenomena kemanusiaan selalu menarik perhatiannya. Dua sisi mata uang berupa psikologi dan ilmu sosial berkembang berbarengan di Indonesia.
Pada 7-8 Desember 1983 Darmanto turut menggagas Seminar Manusia Indonesia Seutuhnya di Undip. Pada forum itu berkumpul banyak tokoh nasional, seperti Arief Budiman, YB Mangunwijaya, dan Abdurrahman Wahid.
Dalam agenda seminar, Darmanto menantang para akademisi untuk memerangi kekerasan sosial pada masa itu (Orde Baru).
”Kekerasan dan perilaku beringas tidak akan berhenti sebelum kalian, ahli-ahli psikologi, sosiologi, antropologi, bahkan biologi, yang sudah menghabiskan uang studi dan riset-riset dari rakyat, berhasil memahami dan menjelaskan gejala-gejala kemanusiaan ini.” sebagaimana terungkap dalam buku Potret Manusia Utuh Menurut Jepretan Ahli-ahli Ilmu Manusia: Manusia Indonesia Beberapa Gagasan (1984: hlm 211). Ungkapan ini menyitir kata-kata Dr Djamaludin Ancok bahwa korupsi adalah akar dari premanisme.
Darmanto tidak akan menjadi bintang kalau ia tidak membela kawruh masa lalu yang tidak memiliki tempat di tengah ilmu-ilmu Barat yang sedang menari. Pandangan itu dipertebal oleh kritik Arief Budiman yang menyebut manusia Indonesia adalah ”manusia satu dimensi” (meminjam istilah Herbert Marcuse). Manusia materialistik yang hanya mengejar harta-benda. Dalam seminar tersebut para akademisi bertepuk tangan, tetapi Darmanto harus berhadapan dengan aparat yang terus membayanginya.
Tak pelak lagi ia menjadi sosok yang sangat diburu di panggung seminar. Gaya bicaranya yang halus tapi menghantam, gestur tubuhnya yang meledek tapi menyerang, semakin memesona. Di luar forum yang tajam, Darmanto menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara penuh harapan.
Pada tulisan berjudul ”Indonesia tanpa Pagar” yang diterbitkan Limpad Semarang, ia membaca Indonesia tak punya lagi pengaman. Segala jenis budaya masuk, termasuk intelijen asing yang bermain. Bersama Limpad, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Semarang, gerakan Darmanto untuk memperkuat keindonesiaan sangat digarap.
Karya-karyanya berupa antologi puisi dan kumpulan esai, tergambar benar bahwa Darmanto adalah seorang Indonesianis. Saya sangat hafal diksi-diksi yang sering muncul manis, tetapi juga sengkring (istilah orang Yogyakarta untuk mengekspresikan sinisme). ”Karena kalian miskin, maka kalian sewenang-wenang,” sindirnya kepada sesama akademisi yang sulit diajak berpikir.
Lahir di Jakarta, 16 Agustus 1942, dan wafat pada 13 Januari 2018. Ia meninggal setelah tiga tahun bergelut melawan stroke. Pada masa sakitnya Darmanto sudah tidak lagi bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Ia kembali ke memori masa kecilnya dengan menggunakan bahasa Jawa halus, bahasa ibu.
Posting Komentar