Oleh: Biyanto (Guru besar filsafat UIN Sunan Ampel, wakil sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur)
Bulan Ramadan benar-benar dijadikan momentum untuk memobilisasi pengumpulan zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Hal itu dapat diamati melalui gairah sejumlah badan amil zakat dalam menggugah kesadaran umat untuk membayar ZIS selama Ramadan. Badan amil zakat juga menjadikan musim pandemi Covid-19 dan terjadinya bencana alam di sejumlah daerah sebagai momentum untuk membangkitkan empati umat kepada sesama. Ramadan tahun kedua pandemi dan insiden bencana alam benar-benar dijadikan spirit untuk membangun solidaritas sosial dengan memanfaatkan ZIS.
Pembayaran ZIS umumnya dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembayar zakat (muzaki) langsung membagikan ZIS kepada mereka yang berhak (mustahik). Cara pertama ini sangat berisiko karena mengakibatkan penumpukan massa. Kondisi ini potensial memicu jatuhnya korban karena mereka berdesak-desakan dan sulit dikontrol. Kerumunan massa juga dapat mengakibatkan penularan Covid-19. Kedua, pembayar zakat memilih untuk menyalurkan ZIS melalui lembaga amil tepercaya. Cara kedua jelas lebih terhormat dan sesuai dengan spirit ajaran Islam pada era modern.
Pembayaran ZIS melalui amil juga lebih efektif dan efisien, terutama berkaitan dengan distribusinya kepada mustahik. Pembayar zakat dapat memercayakan penyaluran ZIS kepada amil. Seiring dengan peningkatan gairah umat untuk membayar ZIS, masyarakat dapat dengan mudah menemukan badan amil zakat profesional yang dikelola pemerintah atau swasta. Bahkan, untuk mengoptimalkan potensi zakat selama Ramadan, sejumlah amil memilih cara yang lebih proaktif. Panitia amil menyiapkan konter zakat di kantor pemerintahan, rumah sakit, pusat perbelanjaan, bank, dan pusat pelayanan publik lainnya.
Terobosan sejumlah badan amil itu penting untuk memudahkan para pembayar ZIS. Tidak hanya membayar ZIS, di setiap pusat pelayanan itu, pembayar zakat juga dapat berkonsultasi mengenai beberapa persoalan keagamaan. Dengan meluasnya penggunaan media sosial (medsos), pembayaran ZIS juga dapat dilakukan secara online.
Sejumlah badan amil bahkan siap menjemput ZIS ke rumah pembayar zakat. Beragam strategi ini penting untuk memobilisasi penerimaan ZIS sepanjang Ramadan. Hingga mendekati akhir Ramadan, lembaga amil zakat pasti lebih sibuk karena juga harus mengelola zakat fitrah.
Jika dikelola profesional, penerimaan ZIS dan zakat fitrah selama Ramadan pasti bermanfaat untuk memberdayakan umat. Sayangnya, pemanfaatan ZIS dan zakat fitrah sejauh ini masih banyak yang digunakan untuk kepentingan konsumtif. Para penerima zakat cenderung menggunakan dana yang dibagikan amil untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal itu karena mereka umumnya kelompok masyarakat miskin dan lemah (duafa). Hampir dapat dipastikan jumlah warga miskin meningkat selama musim pandemi dan bencana alam.
Kelompok masyarakat terdampak pandemi dan bencana alam umumnya mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada kondisi itu dapat dipahami jika dana ZIS dimanfaatkan untuk kepentingan pragmatis. Meski faktanya masih banyak digunakan untuk kepentingan konsumtif, pada saatnya lembaga-lembaga amil penting merancang pemanfaatan dana ZIS untuk meningkatkan produktivitas umat. Dengan demikian, dana ZIS dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pemberian modal usaha, pinjaman lunak, pengembangan unit produksi, dan pemberian beasiswa pendidikan bagi anak-anak.
Pemanfaatan dana ZIS untuk kegiatan nonkonsumtif penting agar lebih produktif dan berdimensi jangka panjang. Di samping untuk kepentingan pemberdayaan umat, pembagian ZIS melalui amil lebih memuliakan penerimanya. Tetapi, ironinya, ada sebagian orang kaya yang merasa bangga melihat fenomena terus bertambahnya kerumunan orang miskin yang antre menerima zakat di depan rumahnya. Fenomena ini dapat diamati di beberapa daerah saat orang-orang kaya membagikan zakat secara langsung kepada penerimanya.
Realitas itu terasa ironi karena masih ada orang yang justru senang melihat peningkatan jumlah orang miskin. Bahkan, dengan bangga mereka mengundang orang miskin datang ke rumahnya untuk diberi zakat. Budaya orang kaya mengundang warga miskin untuk menerima zakat jelas bertentangan dengan spirit ajaran Islam. Sebab, seharusnya orang kaya itulah yang mendatangi fakir miskin untuk membayar zakat.
Penggunaan kata membayar zakat berbeda maknanya dengan memberi zakat. Kata membayar memiliki dimensi kewajiban dan dilakukan secara terhormat. Sementara itu, kata memberi memiliki makna yang longgar. Cara memberikan juga bergantung pada pemberinya.
Kini sudah saatnya lembaga amil berusaha memaksimalkan pengelolaan zakat secara lebih produktif. Meski harus diakui, menghilangkan tradisi pemanfaatan zakat untuk kepentingan konsumtif pasti membutuhkan waktu. Apalagi, realitas menunjukkan bahwa masih banyak warga miskin yang membutuhkan penanganan langsung karena problem yang dihadapi bersifat riil. Tetapi, penting diingat bahwa penanganan persoalan kemiskinan tidak boleh hanya mengandalkan pendekatan pragmatis-jangka pendek.
Strategi pragmatis-jangka pendek pasti tidak akan berhasil memberdayakan masyarakat miskin. Bahkan, boleh jadi masyarakat miskin akan merasa nyaman dengan kemiskinannya. Kondisi itu mengakibatkan komunitas miskin kultural akan terus tumbuh. Mereka berpikir pasti ada pihak yang memberikan bantuan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, menurut hasil survei Charities Aid Foundation (CAF) tentang World Giving Index: A Global View of Giving Trends (2018), Indonesia diposisikan sebagai negara paling dermawan di dunia.
Hasil survei CAF menunjukkan bahwa karakter kedermawanan, kewelasasihan, dan kesukarelaan untuk membantu masyarakat miskin telah menjadi budaya warga negeri tercinta. Meski demikian, masyarakat miskin tidak boleh selamanya miskin. Mereka harus diberdayakan sehingga keluar dari kemiskinannya.
Caranya adalah mengalokasikan dana ZIS sebagai modal usaha produktif. Untuk memastikan bahwa dana ZIS digunakan sebagaimana mestinya, lembaga amil penting mengajak elemen masyarakat mendampingi warga miskin hingga benar-benar berdaya.
Posting Komentar