Pernyataan Muhammad Kace bahwa Kitab Kuning memicu radikalisme memantik penolakan publik. Demikian pula, pengaitan bahasa Arab dengan terorisme oleh Susaningtyas Nefo Kertopati mendapatkan kecaman luas. Tentu, kita harus membedakan keduanya karena dua sosok ini berada di dalam ranah emosional yang tidak sama. Namun, pandangan-pandangan itu tetap mesti ditimbang.
Radikalisme berakar dari banyak faktor. Peubah (variabel) dari sikap ini muncul dari banyak arah dan sumber, seperti konflik politik pemerintahan, perebutan akses ekonomi, dan penguasaan ruang sosial. Pendek kata, tuduhan Kace bahwa Kitab Kuning menyuburkan fanatisme adalah penyederhanaan dan pengaburan dari kata radix, akar lema radikal, dan penyempitan makna dari turats atau teks berbahasa Arab yang mengurai ilmu-ilmu keagamaan, seperti kalam (teologi), fikih, dan hadits.
Kitab Kuning
Kata Edward Said, sarjana Palestina, dalam perdebatan, seseorang cenderung memungut satu bukti untuk mengukuhkan pendapatnya. Ini tidak hanya terjadi pada Kace, yang memang hendak mendegradasi obyek.
Berbeda dengan percakapan hermeneutik Gadamerian, perbincangan seeloknya membuka diri pada kemungkinan kesalahan (dogta ignorantia) sehingga masing-masing terbuka terhadap pandangan orang lain. Akhirnya, setiap penafsir akan memusatkan pada pokok persoalan, bukan memenangkan perdebatan.
Kitab Kuning adalah khazanah klasik pondok pesantren yang dirawat hingga ini. Dulu, buku-buku keislaman dicetak dengan kertas berwarna kuning. Namun, kini banyak karya para ulama, terutama mutakhir, dicetak dengan kertas putih. Namun, santri tidak menyebutnya kitab putih. Secara umum, kitab yang diajarkan di pesantren adalah tasawuf (mistisisme), fikih, hadits, tarikh (sejarah) dan Al Quran.
Fikih yang mengulas ibadah dan muamalah (hubungan sosial dan ekonomi) mendapat tempat yang istimewa, seperti diurai dalam Fathul Mu’in dan Kifayatul Akhyar. Tentu, ulasan di dalamnya senantiasa dikaji karena ia terkait dengan praktik sehari-hari. Meskipun demikian, bab jinayah (kejahatan) tidak mendorong santri untuk memaksakan agar diterapkan, karena hukum potong tangan masih bisa ditafsirkan kembali sesuai dengan konteks historis dan zaman.
Bahkan, kaum santrilah yang berusaha untuk mengembangkan ekonomi Islam sebagai praktik bank muamalah. Namun tidak semua pondok dan santri menggunakan bank tanpa bunga, malah turut menjadi nasabah bank konvensional.
Pendek kata, perbedaan dalam memahami hukum mencerminkan isi dari kitab fikih yang memuat ikhtilaf (perselisihan) di antara banyak sarjana. Apalagi, dari empat imam mazhab utama, kita bisa meneladankan sikap tawaduk mereka terhadap orang yang memiliki pandangan yang berbeda. Dari sini, radikalisme, memandang kelompoknya sebagai satu-satu penganut kebenaran, sejatinya bukan pilihan.
Bahasa Arab
Bagi santri, bahasa rumpun semitik ini mendapat tempat istimewa. Tidak saja digunakan dalam sembahyang, tetapi ia juga menjadi ekspresi kesenian. Kaum sarungan begitu menikmati gambus, kasidah, dan hadrah yang menjadikan bahasa Arab sebagai lirik. Tidak dapat dielakkan, emosi artistik mereka begitu melekat dengan bahasa ”surga” tersebut. Menariknya, banyak pelajar (bahasa Arab: taliban) pondok juga menyukai musik Arab modern, seperti yang dibawakan olah Fairuz atau Nancy Ajram.
Jika seorang santri menikmati Habbaytak bi al-Shayf (Saya Mencintaimu di Musim Panas) yang dibawakan oleh Fairuz, ia sejatinya terbuka bagi fungsi bahasa yang universal. Fairuz adalah penyanyi kenamaan Libanon, yang juga membawakan lagu Natal dalam bahasa Arab dengan sangat indah, ”Lailah ‘Id”. Santri tidak terganggu dengan pengalaman keberagamaan orang lain, malah di sini yang bersangkutan melihat titik temu di antara agama-agama besar Ibrahim, yakni Kristen dan Islam.
Berbeda dengan bahasa Arab di benak teroris. Dulu, otak pelaku pengirim bom buku tertangkap. Sebelumnya, pihak aparat berhasil membuat gambar sketsa sang kurir, yang berwajah tirus, berpipi kurus, dan bermata sayu. Kelompoknya menyebut dirinya sebagai Firaqul Maut wal Ightiyalat.
Mengapa ada kecenderungan pelaku dan nama organisasi yang menggelorakan kekerasan menggunakan bahasa Arab? Jelas, di benak para pelaku kekerasan nama berbahasa Indonesia atau Jawa tidak mencerminkan ”Islam” otentik sehingga istilah berbahasa Arab wajib digunakan untuk menyatakan diri sebagai Muslim sejati.
Tidak hanya itu, istilah-istilah teknis yang berkaitan dengan organisasi teroris berbahasa Arab, seperti ketua dengan amir, dan struktur organisasi juga menggunakan kata Arab, misalnya mantiqi untuk menggantikan kata divisi teritorial. Uniknya, di beberapa wilayah di Indonesia, nama-nama warung telekomunikasi juga berbahasa Arab, seperti Al-Hidayah dan An-Nur, sebelum akhirnya banyak yang ditutup karena kalah bersaing dengan telepon seluler.
Sejatinya bahasa Arab berbagi dengan bahasa lain yang dikaitkan dengan ketuhanan, yaitu Belanda dan Sanskerta (Robert Phillipson, Linguistic Imperialism Continued, 2009). Namun, mengingat kata Nelson Mandela bahwa bahasa ibu sampai ke dalam hati, maka bahasa itu bisa dijadikan alat untuk mendatangkan efek psikologis pada pendengarnya. Misalnya, saya merasa tersentuh apabila mendengar syair kematian Kiai Aminullah dalam bahasa Madura.
Dari uraian di atas, Kitab Kuning dan bahasa Arab adalah sumber dan alat utama untuk fondasi teologis, ideologis, dan praktis dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Tentu, santri sebagai subkultur dari kebudayaan besar Indonesia tidak lagi selalu berada di zona nyaman.
Kitab Kuning tidak hanya soal agama, tetapi juga politik, seperti al-Ahkam al-Sulthaniyyah al-Mawardi, dan kedokteran (Qanun al-Thib Ibn Sina). Jika negara mengakomodasi semua kepercayaan ini secara formal, seperti sekolah agama, bank syariah, zakat, dan perdata Islam, pandangan primordial dalam sistem undang-undang nasional adalah mozaik.
Justru, tantangan yang jauh lebih besar adalah bagaimana kebajikan berdasar agama itu merembes kepada kebutuhan khalayak lebih luas, yang tidak dikerangkeng oleh sentimen sempit. Ada kesepahaman yang sama (kalimatun sawa’) yang akan menyatukan santri dengan elemen lain bangsa ini, yaitu keadilan bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, pesan utama dari syariat, yaitu berkah bagi seluruh manusia dan semesta alam, telah terpenuhi sesuai dengan semangat zaman dan tempat.
Lebih jauh, kecintaan kepada Tanah Air diungkapkan oleh santri dengan menyanyikan lagu ”Ya Lal Watan”, sebuah gubahan oleh Kiai Wahab Hasbullah dalam bahasa Arab. Sebuah lirik cintamu dalam imanku menempatkan kesadaran beragama tidak dipisahkan dengan patriotisme dan nasionalisme. Malah, Pancakesadaran Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, menjadikan al-wa’y al-hukmi wa al-sya’bi (kesadaran bernegara dan berbangsa) sebagai bagian dari sebuah kesatuan dari kesadaran lain, yaitu beragama (al-dini), berilmu (al-ilmi), berorganisasi (al-nizhami), dan bermasyarakat (al-ijtima’i).
Betapa pun dilihat sebagai subkultur dari kebudayaan besar dari rumah keindonesiaan, pondok pesantren telah mewarnai banyak aspek dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik masyarakat. Pada waktu yang bersamaan, kaum santri tidak akan menjadikan tradisi Kitab Kuning dan bahasa Arab sebagai identitas primordial. Dengan memahami pesannya secara utuh, pemahaman keagamaan dikaitkan tujuan syariah yang lebih sejagad atau universal, yaitu menyelamatkan manusia (al-nafs), ilmu pengetahuan (al-‘aql), generasi selanjutnya (al-nasl), kekayaan bersama (al-mal), dan agama (al-din).
Atas dasar inilah, kesepakatan bersama untuk menjadikan negeri ini sebagai rumah bersama dari banyak warga dari pelbagai latar belakang adalah selaras dengan nilai-nilai instrinsik keagamaan. Apalagi, puncak dari kepercayaan terhadap ajaran itu adalah terwujudnya pribadi dan masyarakat yang berbudi pekerti (akhlaq al-karimah). Untuk itu dalam bidang apa pun, santri seeloknya tampil sebagai sosok yang memegang amanah, toleran, dan terbuka pada perbedaan.
Lebih jauh, santri kini tidak hanya berkutat pada tradisi kesarjanaan agama per se, tetapi juga ilmu-ilmu humaniora. Dengan merujuk pada Antonio Gramscy, mereka tidak melihat Kitab Kuning sebagai karya yang selesai. Menurut sarjana Italia ini, produksi pengetahuan dan penerimaan serta transformasinya bersifat historis, dialektik, dan kritis (Henry Giroux, 2000: 101).
Apabila dalam fikih ada bab ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), sejauh mana tafsir dalam konteks zaman kontemporer terkait akses publik terhadap pengelolaan tanah. Inilah sejatinya tugas yang mesti dipikul oleh kaum sarungan, yakni menyelaraskan pesan agama dengan kepentingan dan kesejahteraan publik secara keseluruhan.
Posting Komentar