Belakangan ramai diberitakan rencana pembelian alat utama sistem persenjataan TNI yang ditawarkan dengan harga murah oleh beberapa negara Eropa yang dilanda krisis ekonomi.
Menteri Pertahanan RI mengatakan, alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang akan dibeli antara lain pesawat tempur F-16, helikopter tempur Apache, dan MBT (main battle tank) Leopard 2A6 buatan Jerman. Tampaknya ini bukan lagi sekadar wacana karena Presiden SBY sudah merestui dan menyediakan anggaran 6,5 miliar dollar AS.
Berita ini tentu sangat menggembirakan karena TNI akan segera memiliki sejumlah alutsista yang masih tergolong anyar kendati bukan barang baru keluar dari pabrik. Namun, dalam aksi borong tersebut terdapat beberapa hal (menyangkut teknis militer) yang harus dipertimbangkan dengan matang sebelum terjadi kesepakatan yang mengikat.
Leopard 2A6
Walaupun Jerman sudah memproduksi Leopard 2A7 pada 2010, MBT yang mulai diproduksi tahun 2001 ini masih tergolong produk mutakhir. MBT merupakan salah satu tank terbaik di dunia dengan senjata utama kanon 120 mm yang memiliki akurasi tembakan sangat tinggi dan dilengkapi pula oleh senapan mesin (coaxial) 7,62 mm.
Tank ini sudah dipakai oleh sedikitnya 15 negara, terutama di Eropa dan Kanada. Kendati demikian, sebelum memutuskan membelinya, TNI perlu mengkaji secara rinci dan mendalam, terutama kelayakannya untuk dioperasikan di sejumlah wilayah di Indonesia.
MBT berbobot 62 ton ini memang cocok dioperasikan di Timur Tengah, Eropa, atau Afrika. Namun, untuk medan di Indonesia yang umumnya berkonfigurasi hutan, sungai, dan rawa akan sulit bermanuver.
Bisa dibayangkan untuk bergerak di Pulau Jawa saja terdapat demikian banyak jalan dan jembatan yang kapasitasnya tidak mendukung, apalagi jika digerakkan di Kalimantan dengan jaringan jalan yang masih parah. Tank canggih ini akan lemot karena kemampuan mobilitasnya terhambat keadaan alam dan kondisi infrastruktur. Dengan demikian, walau punya persenjataan canggih, berpotensi menjadi sasaran empuk artileri atau pesawat tempur musuh.
Selain itu, dengan kapasitas mesin 1.500 hp, tank ini sangat boros bahan bakar. Maka, operasionalisasi tank dengan kemampuan jelajah hanya 500 km, kecepatan maksimum 68 km per jam, dan kemampuan mengarungi air (fording capability) sedalam 1 meter (dengan persiapan khusus bisa 4 meter) ini, selain mahal, pasti akan menemui kesulitan cukup berat menyangkut logistiknya. Untuk keperluan refueling, misalnya, diperlukan banyak pos pengisian bahan bakar yang tersebar di medan yang sulit seperti di Kalimantan.
Secara doktriner kita tak akan mengokupasi wilayah negara lain, maka titik berat penggunaan alutsista TNI adalah di dalam negeri, kecuali dalam tugas perdamaian di bawah PBB. Oleh karena itu, tank ringan sejenis FV 101 Scorpion buatan Inggris, berbobot hanya 7,93 ton, kemampuan jelajah 640 km, kecepatan maksimum 87 km per jam, dan melalui persiapan khusus akan memiliki kemampuan amfibi, seharusnya jadi pilihan yang lebih tepat dan lebih bermanfaat untuk Indonesia.
Memang tidak salah jika TNI dilengkapi MBT, tetapi hendaknya tank jenis ini tidak dijadikan senjata utama bagi satuan kavaleri kita. Mengacu pada keterbatasan anggaran pun tampaknya pengadaan tank jenis ini belum jadi prioritas bagi TNI.
Kualitas Personel
Mengembangkan kekuatan pertahanan secara kualitatif dan kuantitatif sekaligus merupakan hal ideal. Namun, dengan keterbatasan anggaran, sebenarnya muskil bagi TNI mengembangkannya bersamaan. Keterbatasan itu memberikan kita hanya dua kemungkinan pilihan dan penekanan: kualitatif atau kuantitatif. Secara rasional tentu memelihara dan meningkatkan kekuatan secara kualitatif merupakan pilihan dan aksentuasi tepat. Namun, bagaimanapun, rencana penjualan alutsista murah ini merupakan kesempatan emas yang tak boleh dilewatkan.
Penambahan sejumlah alutsista TNI (darat, laut, dan udara) secara signifikan ini pasti disusul penambahan personel yang lumayan besar. Maka, hal fundamental yang harus diperhitungkan TNI adalah kualitas personel yang akan mengawakinya. Untuk itu, ke depan, TNI harus siap dengan penambahan anggaran pendidikan, latihan, dan pemeliharaan yang tentu tidak kecil.
Kualitas prajurit tidak hanya ditentukan oleh kemampuan atau kompetensinya, aspek disiplin dan kesejahteraan pun sangat menentukan.
Dalam konteks ini perlu diingat bahwa: ”memiliki tentara dalam jumlah besar, tetapi kualitasnya di bawah standar—apalagi dengan alutsista yang tidak layak dioperasikan—selain hanya akan menjadi beban, juga mengandung bahaya sangat serius”.
Posting Komentar